>
Tentu kita masih ingat tentang frase ’membuka pintu hati’. Pernyataan ini tidak hanya berlaku untuk urusan menerima atau menolak kehadiran seseorang dalam
yang akan kita ambil sebagai respon terhadap suatu keadaan. Hati kitalah yang menentukan apakah kita mengalah, atau melawan. Hatilah yang menentukan apakah
kita akan mendendam atau memaafkan. Lebih dari itu, hatilah yang menentukan apakah kebaikan yang kita lakukan itu bernilai pahala dimata Tuhan atau sekedar
tebar pesona dihadapan sesama manusia.
pintu itu. Benar saja. Tiang kusen tempat lazimnya sang pintu menempel jebol. Bagaimana bisa begitu? Ternyata bagian dalam tiang kusen itu keropos digerogoti
oleh rayap. Padahal bagian luarnya terlihat baik-baik saja. Sama sekali tidak menujukkan kalau tiang kusen itu sedang menderita ’luka dalam’ yang begitu
serius. Gara-gara kejadian itu, pintu kamar kami tidak bisa ditutup sampai seorang tukang kayu tuntas memperbaikinya dua hari kemudian.
ekspresi bahwa pada dasarnya kita tidak ingin sembarangan orang memasuki rumah atau ruangan-ruangan khusus yang kita miliki. Pendek kata, pintu merupakan
bagian dari proses pertahanan diri yang sangat kita andalkan. Ini berlaku dalam pengertian fisik, maupun mental. Bayangkan saja, seandainya kita tidak
bisa menutup pintu rumah kita. Sembarangan orang bisa lalu lalang melintasinya. Padahal, tidak semua orang memiliki itikad yang baik ketika memasuki rumah
orang lain. Dalam konteks abstrak, pintu hati memainkan peranan untuk mencegah agar segala sesuatu yang kurang berkenan bagi kita tidak bisa memasuki relung
hati. Jika kita tidak pernah menutupnya, maka segala sesuatu bisa memasukinya tanpa kendali. Maka, jadilah kita orang yang terombang-ambing oleh sistem
nilai apapun yang datang dari luar. Padahal, belum tentu segala hal yang datang dari luar itu baik adanya bagi kita. Jika pengaruh dari luar itu malah
menyakiti hati kita, mengapa kita mesti mengijinkannya masuk juga?